“Beberapa pihak menganggap (perubahan iklim) sepele. Aku tidak.”
Kalimat tegas itu keluar dari mulut gadis remaja 16 tahun asal Swedia bernama Greta Thunberg. Greta adalah representasi dari sedikit remaja yang sangat peduli dengan lingkungan, terutama perubahan iklim.
Suatu hari di musim panas lalu, Greta membolos dari sekolah. Greta tak sembarang membolos. Ia duduk manis di luar parlemen Swedia dan secara tak sengaja aksinya itu memicu gerakan global.
Greta Thunberg melakukannya sendiri dan sepintas terlihat ringkih saat memulai aksi kampanye protes perubahan iklim di luar gedung parlemen Swedia, Agustus tahun lalu. Orangtuanya sempat berulangkali menghalangi rencana aksi gadis mereka. Teman sekolahnya bahkan menolak ikut bergabung. Para pejalan kaki yang lewat, ada yang menatap iba. Beberapa terlihat bingung melihat aksi gadis ini duduk di atas batu dan disampingnya terdapat poster yang ditulisi dengan spidol.
Delapan bulan berlalu, tak ada yang berubah dari gadis tersebut. Gadis berkepang dua itu lalu dikenal dunia sebagai sosok yang bertekad kuat dan menginspirasi dengan aksi pedulinya. Presiden negaranya, serta sejumlah pemimpin perusahaan dikiritisinya secara langsung. Tulisan di banner berbunyi “skolstrejk för klimatet” (sekolah melawan untuk iklim) sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa sebagai simbol perlawanan positif. Dan dari semua itu, Greta yang sosok penyendiri menjadi pusat perhatian dalam kesendiriannya.
Pada 15 Maret 2019 lalu, saat dirinya kembali beraksi (Greta melakukannya setiap Jumat, tidak peduli panas, hujan, ataupun salju turun) kian mempercepat munculnya gerakan masal. Gerakan Jumat ini menyebar secara global, dan menjadi gerakan lingkungan terbesar. Greta menunjukkan antusiasmenya saat gerakan ini dengan cepat membesar.
“Sangat luar biasa,” katanya. “(Gerakan) Sudah mencapai 71 negara, dan 700 tempat di seluruh dunia, dan masih terus menyebar. Ini sangat menyenangkan sekali,” komentarnya pada wartawan.
Setahun lalu, hal ini sama sekali tak terpikirkan. Saat itu Greta hanya seorang gadis introvert dengan jumlah teman yang bisa dihitung jari. Bangun pukul 6 pagi untuk pergi sekolah dan tiba di rumah kembali pukul 3 sore. “Tak ada yang istimewa dalam hidup saya,” katanya mengingat. “Saya hanyalah gadis pendiam yang duduk di deretan belakang. Saya berpikir tak bisa berbuat lebih karena saya merasa kecil.”
Greta berbeda dengan anak lainnya. Ibunya Malena Ernman adalah penyanyi opera. Sementara ayahnya, Svante Thunberg, berprofesi sebagai aktor sekaligus penulis. Meskipun pribadinya sedikit tertutup, Greta cukup brilian di sekolahnya. Padahal empat tahun lalu, Greta didiagnosis mengidap Asperger.
“Aku (tipikal) orang yang sering (merasa) khawatir. Orang boleh saja tidak terlalu peduli dengan sesuatu. Aku tidak bisa. Terutama pada hal yang membuatku khawatir atau sedih. Aku ingat ketika dulu di sekolah, guru menunjukkan cuplikan film tentang sampah plastik di lautan. Itu membuat beruang kutub kelaparan karena sulit mendapat ikan. Film itu membuatku terus menangis. Teman sekelasku terlihat begitu peduli saat menyaksikannya. Tapi begitu film berakhir, mereka tak lagi memikirkannya. Aku tidak bisa. Cerita film itu tak bisa hilang dari ingatan,” kisah Greta.
Saat dirinya belajar soal perubahan iklim di berusia 8 tahun, ia begitu terkejut ketika tahu banyak orang dewasa tak peduli dengan hal itu. Sebenarnya bukan hal ini saja yang membuat dirinya tertekan, namun fakta itu cukup mempengaruhinya.
“Aku terus memikirkannya. Tentang bagaimana masa depan nanti (saat perubahan iklim terus terjadi). Kekhawatiran itu membuatku tertekan dan malas bersekolah. Orangtuaku yang khawatir lantas mengajakku berbicara dan aku pun menceritakan masalahku. Awalnya mereka mengatakan semua akan baik-baik saja. Itu tidak membantu, tentu saja. Namun setelah aku memperlihatkan mereka film, gambar, artikel, dan informasi (tentang bahaya perubahan iklim), orangtuaku mulai serius mendengarkanku. Aku pun percaya bisa membuat perubahan.”
Greta menjadikan kedua orangtuanya pihak pertama yang ia bujuk untuk peduli pada perubahan iklim. Ternyata ia mulai menyadari punya kemampuan persuasif pada orang lain. Ibunya mulai berhenti bepergian dengan pesawat. Ayahnya pun menjadi vegetarian. “Dia mengubah kami, dan ia kini sedang mengubah orang lain pula (untuk menyadari bahaya perubahan iklim). Kami sama sekali tidak menyangka dia bisa seperti ini. Jika ini bisa (mengubah pandangan orangtuanya), kami percaya dia bisa melakukannya,”kata sang ayah, Svante.
Gerakan melawan perubahan iklim ternyata terinspirasi dari siswa Sekolah Parkland di Florida, Amerika Serikat. Para siswa tersebut mogok belajar memprotes pelegalan senjata oleh Pemerintah yang menyebabkan terjadinya peristiwa pembantaian di sekolah beberapa waktu lalu. Greta dalam hal ini punya kemiripan. Sama-sama menggalang aksi untuk hal yang lebih baik. Pada musim panas lalu, saat gelombang panas menghantam kawasan Eropa Utara dan memicu kebakaran hutan di Swedia yang meluas, Greta memutuskan bertindak. Hari itu 20 Agustus 2018, aksinya dimulai.
Dengan bersepeda, Greta menuju gedung parlemen Swedia. Ia lantas duduk di luar gedung dengan poster bertuliskan protes disampingnya. Gadis ini duduk di sana dari mulai pukul 08.30 sampai 15.00. Persis waktu belajar di sekolahnya. Di hari pertama dia duduk sendiri. “Pada hari kedua, orang-orang mulai bergabung denganku, dan setelahnya ada banyak orang yang melakukannya sepanjang waktu,” kisah Greta dengan bangga.
Greta tetap bertekad melakukan aksinya sampai pemilihan umum tiba. Setelahnya, dia akan berpidato di depan ribuan orang dalam kampanye iklim di bulan Maret. Awalnya, orangtuanya enggan mendukung karena Greta diketahui juga mengidap “selective mutism”. Suatu gangguan yang terjadi ketika seseorang menjadi diam atau “mute” pada situasi tertentu. Seorang dengan “selective mutism” juga cenderung lebih merasa khawatir dibanding yang lain. Meskipun dihimbau untuk berhenti, namun Greta tetap tidak mengubah pendiriannya. Bahkan Greta menyebarkan pesannya melalui media sosial dalam bahasa Inggris yang sempurna. Alhasil, kegigihannya itu membuat sang ayah terharu. “Aku menangis,”ungkap sang ayah.
Dalam pertemuan World Economic Forum di Davos beberapa waktu lalu, kondisi “selective mutism”–nya itu digunakan dalam pidatonya. “Kami tidak ingin anda sebagai pemberi harapan, tapi anda sama-sama panik menyikapi soal iklim ini. Kami ingin anda sama-sama merasa khawatir, lalu anda melakukan tindakan,”tegas Greta dalam pidatonya di pertemuan para pemimpin dunia itu.
Namun tanggapan para pemimpin negara itu cukup mengecewakannya. Para pemimpin dari Amerika, Inggris, dan Australia bahkan menasehatinya untuk tidak membolos, dibanding peduli dengan pesan aksinya. “Mereka selalu berusaha mengalihkan tema pembicaraan saat kampanye ini dilakukan,”sesal Greta. “Mereka tahu mereka tidak akan bisa menang (melawan kampanyenya), karena mereka tidak berbuat apapun.”
Omongan Greta ini bukan tanpa bukti. Kecemasannya sejalan dengan temuan ilmiah dari riset para peneliti. Laporan terakhir menyebut, suhu air permukaan laut kian menghangat, dan es di kutub mencair lebih cepat dari yang diperkirakan. Tahun lalu atau 2018, UN Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) atau badan PBB yang mengurus panel antar pemerintah tentang perubahan iklim, menyampaikan bahaya meningkatnya suhu pemanasan global yang mencapai lebih dari 1,5°C. Untuk mencegah situasi kian memburuk, perlu penurunan emisi secara serius hingga tahun 2030. Ini tentunya butuh upaya tekanan politis pada para pemerintah di dunia. Dan tak satu pihak pun – dalam 8 bulan terakhir – yang tekanannya bisa seefektif yang dilakukan Greta.
Greta yang dulunya seorang gadis yang nyaris putus asa, kini berubah jadi harapan banyak orang. Karena kegigihan dan ketegasannya dia dipuji oleh badan PBB, bertemu langsung dengan Presiden Perancis, Emmanuel Macron, berbagi podium dengan Presiden Komisi Eropa Jean-Claude Juncker dan di-endorse oleh kanselir Jerman, Angela Markel. Anda mungkin berpikir amat berat bila harapan penduduk bumi ada di pundak gadis 16 tahun ini, nyatanya gadis kelahiran 3 Januari 2003 ini mengaku tak merasa tertekan.
“Aku tak peduli apa yang aku dan mereka lakukan akan berbuah harapan. Yang penting adalah lakukan apa yang bisa kita lakukan, bahkan jika itu terasa tak ada harapan,” cetusnya bersemangat.
Di sisi lain, keluarganya melihat gangguan Asperger yang diderita, malah membawa hikmah. Greta menjadi pribadi yang tak mudah goyah dan terganggu dengan respon sosial di sekelilingnya. Ia tetap fokus memperjuangkan apa yang diyakininya benar dan mampu melihat semua itu secara jernih. Berbicara kepada dunia dari atas podium pun tak membuatnya gugup. Meskipun tahu aksi politisnya tidak serta merta mengubah kebiasaan orang dalam berkonsumsi, setidaknya remaja ini memulai dari dirinya dahulu. Ia seorang vegetarian dan hanya bepergian menggunakan kereta.
Tindakan Greta bukannya tidak mengundang pihak yang kontra. Di media sosial tidak sedikit yang menyerang reputasi dan penampilannya secara kasar. Namun, karena sudah terbiasa menerima bullying bahkan di sekolahnya, dia tak ambil peduli. “Aku sudah memperkirakan, ketika isu ini menjadi demikian besar, maka bakal banyak pula pihak yang membenci,” tegasnya. “Itu tanda positif. Itu memang harus demikian, karena mereka menilai kampanye kami sebagai ancaman penting. Artinya ada yang berbeda dalam perdebatan pro dan kontra, dan kami sedang melakukan perubahan.”
Tak peduli dengan semua itu, Greta menyatakan keukeuh bakal melakukan aksi setiap jumat di luar gedung parlemen. Itu akan terus dilakukannya sampai kebijakan politik Pemerintah Swedia sejalan dengan persetujuan Paris tentang perubahan iklim. “Aku pikir gerakan siswa sekolah ini hanya permulaan, dan itu mengubah cara pandang. Orang-orang akan menyadari dan tentunya berdiri untuk membela masa depannya.”
sumber: majalahcsr.id